Senin, 20 Mei 2013

IMAGE PT KAYU LAPIS INDONESIA-SEMARANG
















Produk Kayu Wajib Bersertifikat Legal SHARE THIS TAGS Produk olahan kayu yang akan diekspor wajib mencantumkan dokumen V legal. Indonesia menjadi negara pertama yang menerapkan sertifikat legal bagi produk olahan kayu yang diekspor ke luar negeri. Diharapkan tahun 2014 mendatang, seluruh produk kayu baik dari perusahaan besar maupun UMKM sudah menyertakan sertifikat dokumen kayu legal. Wakil Menteri Perdagangan RI Bayu Krisnamurthi saat peresmian uji pengapalan ekspor kayu bersertifikat legal, di PT Kayu Lapis Indonesia Desa Mororejo Kaliwungu Kendal Selasa (23/10) siang mengatakan penggunaan dokumen legal ini merupakan yang pertama. Nantinya seluruh ekspor produk kayu, baik dari perusahaan besar maupun umkm harus menyertakan dokumen V-legal. “Dengan uji coba ini diharapkan kita dapat melakukan review kekurangan yang ada untuk kemudian menyempurnakannya. Hal ini diharapkan agar ekspor produk kayu bisa berjalan lancar pada saat diberlakukan Januari 2013 mendatang. Ini juga sebagai bentuk kesiapan Indonesia untuk memasok produk kayu bersertifikat legal dipasar-pasar dunia,” jelas Wamen Perdagangan. Dijelaskan, untuk tahun 2012 mendatang setidaknya baru 26 jenis produk kayu dari 40 jenis produk wajib di sertifikasi legalitasnya. Sedangkan sisanya 14 jenis produk kayu yang umumnya dihasilkan UMKM baru akan dilakukan pada tahun 2014 mendatang. “Untuk yang diproduksi perusahaan besar sebanyak 26 jenis sudah diberlakukan Januari 2013 mendatang,” imbuhnya. Wamen juga mengatakan, sertifikat legal ini bukan mengikuti kemauan dari negara tujuan ekspor terutama eropa, namun untuk kepentingan Indonesia agar produknya lebih dihargai negara lain. Uji coba pengapalan eskpor kayu ini akan dilangsungkan di empat pelabuhan besar, yakni Pelabuhan Belawan Medan, Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, Pelabuhan Tanjung Emas Semarang dan Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Tujuan ekspor kayu bersertifikat legal ini, meliputu negara negara di eropa seperti Inggris, Belanda, Perancis, Belgia, Denmark, Italia, Jerman, Yunani dan Siprus. Sementara Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Kementrian Kehutanan RI, Bambang Hendroyono menyatakan dalam rangka memperbaiki tata kelola kehutanan pemerintah telah menerapkan secara mandatory Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) sesuai Permenhut Nomor p.38/Menhut-II/2009 junto Nomor p.68/ Menhut-II/2011. “SVLK merupakan inisiatif dan komitmen pemerintah bukan atas dorongan atau intervensi dari Negara lain dalam upaya menjamin legalitas kayu dan produk perkayuan Indonesia yang dipasarkan di dalam maupun luarnegeri,” jelas Bambang. SVLK sekaligus menjawab tantangan adanya tren dalamn perdagangan kayu internasional yang memerlukan bukti legalitas seperti Amerika dengan Amaendment Lacey, Uni eropa dengan EU Timber Regulation dan negera lain yang sudah menerapkan legalitas bahan kayu. (03)

UPAYA PENYELAMATAN INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU INDONESIA DITINJAU DARI SUDUT KETERSEDIAAN BAHAN BAKU Muh. Yusram Massijaya Staf Pengajar Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB I. PENDAHULUAN Saat ini industri pengolahan kayu Indonesia sedang menghadapi berbagai masalah. Masalah yang dirasakan paling mengganggu dan harus sesegera mungkin disikapi dan dicarikan jalan keluarnya adalah semakin menipisnya cadangan sumberdaya kayu, serta ketidakseimbangan antara demand dan supply hasil hutan kayu sebagai akibat dari kebijakan pengelolaan hutan dan pengembangan industri perkayuan yang tidak singkron dimasa-masa lalu. Keseluruhan persoalan yang dihadapi oleh industri pengolahan kayu baik secara parsial maupun nasional harus dicarikan jalan terbaik agar bisa keluar dari krisis tersebut di atas. Salah satu faktor penting yang perlu dilakukan adalah efisiensi bahan baku karena selain sumberdaya hutan yang semakin langka, harga kayu yang semakin mahal, juga karena tekanan dunia internasional yang menghendaki agar seluruh produk industri perkayuan yang dihasilkan dari hutan yang dikelola secara lestari dan berkesinambungan (sustainable forest management). Salah satu upaya yang paling mungkin dilakukan untuk mengamankan bahan baku industri pengolahan kayu secara nasional adalah melakukan realokasi pemanfaatan sumberdaya kayu yang dimiliki dan diupayakan dapat menghasilkan nilai devisa yang optimal. Fakta di Jepang menunjukkan bahwa banyak industri pengolahan kayu yang dapat berkembang dengan baik meskipun menggunakan bahan baku dari Papua New Guinea, Malaysia, Selandia Baru dan Rusia. Hal ini dapat terwujud karena tingkat efisiensi, teknologi dan penguasaan pasar bagi industri-industri tersebut sangat baik. Sangat diharapkan pemerintah Indonesia dapat merumuskan kebijakan baru yang dapat membantu industri pengolahan kayu tumbuh dan berkembang menjadi industri yang tangguh tanpa merusak sumberdaya alam (hutan) secara significant. Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan paper ini untuk memberikan masukan kepada para pengambil keputusan serta mencoba menganalisis dan memberikan solusi masalah ketimpangan antara demand dan supply hasil hutan kayu serta kearah mana seharusnya industri pengolahan kayu Indonesia dikembangkan agar efisiensi pemanfaatan bahan baku dapai dicapai, demand terpenuhi serta perolehan devisa melalui hasil hutan kayu dapat dioptimalkan. II. KESENJANGAN ANTARA DEMAND DAN SUPPLY BAHAN BAKU Saat ini kondisi hutan alam sebagai penghasil utama kayu sedang dipertanyakan kemampuannya memasok bahan baku kayu yang dibutuhkan oleh industri perkayuan nasional secara kontinu dan memadai, sementara HTI yang sangat diharapkan diragukan keberhasilannya. Hal ini cukup beralasan karena diduga pengelolaan hutan alam selama ini dianggap belum memenuhi kriteria azas sustained yield forest management serta tingginya pengaruh intervensi pihak-pihak lain yang menyebabkan kerusakan hutan alam yang cukup tinggi di beberapa daerah. Bahkan setelah era reformasi, tuntutan masyarakat sekitar hutan serta tindakan penguasaan hutan menunjukkan frekwensi yang meningkat cukup tajam dengan skala yang semakin besar. Hasil penelitian LP IPB bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan Produksi Departemen Kehutanan dan Perkebunan pada tahun 2000 menunjukkan dengan jelas kesenjangan antara demand dan supply bahan baku kayu untuk industri pengolahan kayu pada berbagai skenario (Tabel 1). Tabel 1. Prakiraan kekurangan bahan baku industri pengolahan kayu Indonesia pada tahun 2000 - 2018 (dalam jutaan m3). No. Tahun Prakiraan Supply Prakiraan Selisih Supply Demand Optimis Moderat Pesimis Demand Optimis Moderat Pesimis (a) (b) (c) (d) (e) (f) (c-f) (d-f) (e-f) 1 2000 37.9 28.4 20.4 44.3 -6.4 -15.9 -23.9 2 2001 38.0 28.5 20.3 45.8 -7.8 -17.3 -25.5 3 2002 38.1 28.5 20.3 47.4 -9.3 -18.9 -27.1 4 2003 38.4 28.5 20.3 49.2 -10.8 -20.7 -28.9 5 2004 42.3 28.6 21.7 51.0 -8.7 -22.4 -29.3 6 2005 42.7 31.0 21.8 53.0 -10.3 -22.0 -31.2 7 2006 43.1 31.2 21.9 55.1 -12.0 -23.9 -33.2 8 2007 43.3 31.5 21.9 57.4 -14.1 -25.9 -35.5 9 2008 43.4 31.5 24.8 59.9 -16.5 -28.4 -35.1 10 2009 51.3 31.6 24.8 62.6 -11.3 -31.0 -37.8 11 2010 52.0 36.2 25.0 65.6 -13.6 -29.4 -40.6 12 2011 52.6 36.7 25.2 68.8 -16.2 -32.1 -43.6 13 2012 53.2 37.1 25.3 72.3 -19.1 -35.2 -47.0 14 2013 53.5 37.4 25.3 76.1 -22.6 -38.7 -50.8 15 2014 54.2 37.5 25.6 80.2 -26.0 -42.7 -54.6 16 2015 55.7 38.0 26.0 84.7 -29.0 -46.7 -58.7 17 2016 56.7 39.0 26.3 89.5 -32.8 -50.5 -63.2 18 2017 57.6 40.2 26.6 94.7 -37.1 -54.5 -68.1 19 2018 58.0 40.4 26.6 100.2 -42.2 -59.8 -73.6 Sumber : Marimin et al., 2000. Lembaga Penelitian IPB bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan Produksi Departemen Kehutanan dan Perkebunan (data diolah). Berdasarkan data hasil perhitungan di atas maka dapat dilihat bahwa kesenjangan antara demand dan supply kayu bulat Indonesia cukup besar dan ada kecenderungan semakin lama semakin besar. Diyakini kesenjangan bahan baku yang terjadi saat ini di lapangan jauh lebih besar dibandingkan dengan angka-angka yang tercantum pada Tabel 1 di atas. Masalah kesenjangan bahan baku juga dapat diduga dari rendahnya tingkat pemanfaatan kapasitas industri pengolahan kayu di Indonesia yang berkisar 69% untuk industri kayu lapis, 37 % untuk industri penggergajian, 9% untuk industri moulding dan bahan bangunan, dan 37 % untuk industri mebel. Berdasarkan uraian di atas maka dapat dipastikan bahwa saat ini industri pengolahan kayu Indonesia sedang mengalami kekurangan bahan baku serta dapat dipastikan pula bahwa kondisi ini masih akan berlangsung dimasa-masa mendatang, bahkan akan semakin parah jika tidak dilakukan upaya-upaya untuk menanggulangi masalah tersebut. Berikut ini disampaikan beberapa upaya yang dapat dilakukan dalam rangka mengatasi kesenjangan antara demand dan supply kayu bulat di Indonesia : Dalam rangka meningkatkan supply bahan baku kayu, maka diupayakan agar HPH mau melakukan pemanenan kayu dengan menggunakan metode full tree utilization. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan volume limbah kayu yang terjadi di lapangan sangat besar, bahkan diduga mencapai 60 juta m3/tahun (Massijaya et al., 1999). Limbah kayu ini ditinjau dari sudut teknologi sangat layak digunakan sebagai bahan baku industri pulp and paper, MDF, papan partikel, papan sambung, mebel dan moulding. Memanfaatkan jenis-jenis kayu yang tergolong lesser used species / lesser known species. Sampai saat ini jenis-jenis kayu yang dimanfaatkan masih sangat terbatas, sedangkan ribuan jenis lainnya belum dimanfaatkan dengan baik. Banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa jenis-jenis kayu yang tergolong lesser used species memiliki sifat-sifat yang sangat baik digunakan sebagai bahan baku industri pengolahan kayu. Memanfaatkan jenis-jenis kayu berdiameter kecil (kurang dari 50 cm). Penelitian CIRAD (1998) di Kalimantan Timur menunjukkan bahwa struktur hutan didominasi oleh jenis-jenis Dipterocarpaceae (24,14%), Euphorbiaceae (13,51%), Sapotaceae (6,36%) dan sisanya merupakan jenis campuran dari 43 famili (55,99%) yang tergolong jenis-jenis kayu berdiameter kecil (small-diameter logs). Jenis-jenis kayu ini secara genetis dan ekologi tidak akan pernah mencapai diameter batas minimal yang diperkenankan untuk dipanen oleh TPTI (50 cm). Alternatif pemenuhan bahan baku kayu untuk industri pengolahan kayu dapat dipenuhi melalui impor kayu bulat. Tingginya harga kayu bulat di pasaran internasional akan memaksa industri pengolahan kayu meningkatkan efisiensi pemanfaatan bahan baku. Alternatif ini hanya akan berhasil jika pengamanan hutan dapat dilakukan dengan baik sehingga illegal cutting dan unreported cutting dapat dieliminir dengan baik. Rasionalisasi industri pengolahan kayu. Industri pengolahan kayu Indonesia yang menjadikan industri kayu lapis sebagai primadona dimasa-masa mendatang sangat sulit dilakukan mengingat kondisi bahan baku yang kita miliki semakin menurun. Seharusnya pengembangan industri pengolahan kayu diarahkan kepada industri yang memiliki spektrum bahan baku luas dengan kualitas yang rendah, memiliki nilai tambah yang tinggi, ramah lingkungan serta tingkat teknologinya telah dikuasai dengan baik. III. ANALISIS ARAH PENGEMBANGAN INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU Industri pengolahan kayu Indonesia saat ini masih didominasi oleh industri kayu lapis, penggergajian, pulp dan kertas serta blockboard. Struktur industri pengolahan kayu Indonesia di masa mendatang dapat dipastikan berubah sebagai akibat dari keterbatasan sumberdaya hutan sebagai penghasil kayu, semakin mahalnya harga kayu, tingkat persaingan yang semakin keras serta adanya tuntutan konsumen akan produk yang ramah lingkungan (green products). Untuk melihat ke arah mana industri pengolahan kayu sebaiknya dilakukan, maka ada baiknya digunakan hasil penelitian Litbang Kehutanan dan Fakultas Kehutanan IPB tentang rangking industri pengolahan kayu Indonesia ditinjau dari sudut bahan baku, tenaga kerja, gaji, pajak langsung serta nilai tambah (Tabel 2). Table 2 Ranking industri pengolahan kayu Indonesia ditinjau dari sudut bahan baku, tenaga kerja, gaji, pajak langsung dan nilai tambah No. Jenis Industri Rangking berdasarkan kriteria Bahan baku Tenaga kerja Gaji Pajak langsung Nilai tambah Jumlah Nilai 1 Plywood 1 8 7 7 8 31 2 Sawmill 2 4 4 3 4 17 3 Moulding 3 2 2 2 2 11 4 Laminated plywood 4 9 9 8 5 35 5 Household tools 5 5 5 4 6 25 6 Core plywood 6 3 3 1 3 16 7 Other goods 7 6 6 6 7 32 8 Container 8 7 8 9 9 41 9 wood Scarf 9 1 1 5 1 17 10 Veneer 10 10 10 10 10 50 Sumber : Litbang Kehutanan Departemen Kehutanan dan Fakultas Kehutanan IPB dalam E.G.Togu Manurung and Arrita Suwarno, 1999 (data diolah). Jika parameter yang diteliti diasumsikan memiliki bobot yang sama maka penjumlahan nilai yang diperoleh masing-masing jenis industri dapat mencerminkan tingkat prospeknya dimasa mendatang. Jenis industri yang memiliki nilai terkecil merupakan jenis industri yang paling prospektus. Berdasarkan hasil penjumlahan nilai yang diperoleh maka urutan industri yang paling prospektus adalah moulding, core plywood, sawmill, wood scarf, house hold, plywood, other goods, laminated plywood, container dan veneer. Disamping industri pengolahan kayu tersebut di atas, industri pengolahan kayu lainnya yang saat ini sedang berkembang di negara lain adalah MDF, OSB, parallam, glulam, com-ply dan Timber Strand (PSL 300) (T.D. Faust, 1992). IV. PENUTUP Saat ini industri pengolahan kayu Indonesia sedang mengalami kekurangan bahan baku serta dapat dipastikan pula bahwa kondisi ini masih akan berlangsung dimasa-masa mendatang, bahkan akan semakin parah jika tidak dilakukan usaha-usaha untuk menanggulangi masalah tersebut. Dalam rangka meningkatkan supply bahan baku kayu, maka diupayakan agar HPH mau melakukan pemanenan kayu dengan menggunakan metode full tree utilization. Industri pengolahan kayu dapat memanfaatkan jenis-jenis kayu yang tergolong lesser used species/lesser known species, jenis-jenis kayu berdiameter kecil (kurang dari 50 cm). Untuk itu pemerintah diharapkan dapat membantu dari segi kebijakan dan perundang-undangan yang mendukung. Guna mengurangi tingginya demand kayu, khususnya terhadap kayu-kayu berdiameter besar dan berkualitas tinggi, maka perlu diupayakan pengembangan industri pengolahan kayu yang efisien dalam pemanfaatan bahan baku, memiliki spektrum bahan baku yang luas, serta memiliki nilai tambah yang tinggi. BAHAN RUJUKAN Marimin, M.Y.Massijaya, A. Hermawan, H. Kusnanto, Muslich, Mudjijanto. 2000. Analisis Supply Demand Hasil Hutan Kayu. Lembaga Penelitian IPB bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan Produksi Departemen Kehutanan dan Perkebunan. CIRAD. 1998. Silvicultural Research in a Lowland Mixed Dipterocarp Forest of East Kalimantan, The Contribution of STREK Project. CIRAD-forest, FORDA, PT. INHUTANI I. Jakarta. Faust, T. D. 1992. Proceedings of Structural Panels and Composite Lumber Two Side of the Profit Coin : Processing and Products/Markets. Atlanta Georgia, USA. Manurung, E.G.T dan Aritta Suwarno. 1999. Prospek Industri Perkayuan Indonesia Dalam Era Ekolabel. Makalah disampaikan pada acara diskusi panel tentang Prospek Industri Perkayuan Indonesia Dalam Era Ekolabel. Jakarta, 29 Nopember 1999. Massijaya, M.Y , B. Tambunan, Y.S. Hadi, E.S. Bakar. 1999. Pengembangan Papan Komposit dari Limbah Kayu dan Plastik. Jurusan Teknologi Hasil Hutan/. Fakultas Kehutanan IPB.